TEKNIK-TEKNIK BEHAVIOR THERAPY
Lesmana (dalam Lubis, 2011) membagi teknik terapi
behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan
teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a.
Teknik-teknik Tingkah Laku Umum
Teknik ini terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya
adalah:
1. Skedul
penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah
laku yang baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus
dilakukan terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri
klien. Setelah terbentuk, frekuensi penguatan dapat dikurangi atau dilakukan
pada saat-saat tertentu saja (tidak setiap kali perilaku baru dilakukan).
Istilah ini sering disebut sebagai penguatan intermiten. Hal ini dilakukan
untuk mempertahankan tingkah laku baru yang telah terbentuk. Misalnya, klien
yang mengalami kesulitan membaca akan diberikan pujian secara terus-menerus
bila berhasil membaca. Tetapi setelah ia dapat membaca, pemberian pujian harus
dikurangi.
2. Shaping adalah
teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara
bertahap. Terapis dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam
beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
3. Ekstingsi
adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif
tidak berulang. Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan
bersedia melakukan sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya,
seorang anak yang selalu menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis
akan bertindak tidak memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan
menggunakan cara yang sama lagi untuk mendapatkan keinginannya.
b. Teknik-teknik Spesifik
Teknik-teknik spesifik ini meliputi:
1. Desentisasi
Sistematik. Teknik ini adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini
diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan
kecemasan. Desentisasi sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien
diminta untuk menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai
titik di mana klien tidak merasa cemas. Selama relaksasi, klien diminta untuk
rileks secara fisik dan mental. Teknik ini cocok untuk menangani kasus fobia,
ketakutan menghadapi ujian, ketakutan secara umum, kecemasan neurotik,
impotensi, dan frigiditas seksual. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011)
menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami
kegagalan, yaitu: (a)Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan
karena komunikasi terapis dan klien yang tidak efektif atau karena hambatan
ekstrem yang dialami klien.(b)Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan,
hal ini kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang keliru.(c)Klien
tidak mampu membayangkan
2. Pelatihan Asertivitas.Teknik
ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan
asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran (role playing). Teknik
ini dapat membantu klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau
menegaskan diri di hadapan orang lain. Pelatihan asertif biasanya digunakan
untuk kriteria klien sebagai berikut: (a)Tidak mampu mengungkapkan kemarahan
atau perasaan tersinggung. (b) Menunjukkan kesopanan secara berlebihan dan
selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya. (c) Memiliki kesulitan untuk
mengatakan tidak. (d)Mengalami kesulitan mengungkapkan afeksi dan respons
positif lainnya. (e) Merasa tidak
memiliki hak untuk memiliki perasaan dan pikiran sendiri. Melalui teknik permainan
peran, terapis akan memperlihatkan bagaimana kelemahan klien dalam situasi
nyata. Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani
menegaskan diri di hadapan orang lain.
3. Time-Out.
Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak
diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan darireinforcement positif.
Time-out akan lebih efektif bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Misalnya lima menit. Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya
akan dimasukkan dalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat melakukan
tindakan tersebut, karena takut akan dimasukkan ke kamar gelap kembali,
biasanya anak akan menghentikan tindakan yang salah tersebut.
4. Implosion dan
Flooding. Teknik implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi
stimulus yang mengancam secara berulang-ulang, karena dilakukan terus-menerus
sementara konsekuensi yang menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan kecemasan
klien akan tereduksi atau terhapus. Menurut Stampfl (dalam Lubis, 2011).
Terapiimplosion adalah teknik yang menantang pasien untuk "menatap
mimpi-mimpi buruknya." Ia menambahkan bahwa teknik implosion sangat bagus
digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang berada di rumah sakit, klien
neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu menurut Corey (dalam Lubis,
2011) flooding merupakan teknik di mana terjadi pemunculan stimulus yang
menghasilkan kecemasan secara berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement.
Klien akan membayangkan situasi dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan
klien tersebut.Flooding bersifat lebih ringan karena situasi yang menimbulkan
kecemasan tidak menyebabkan konsekuensi yang parah.
Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey
(dalam Lubis, 2011) menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi
behavioristik. Diantaranya, adalah:
1. Reinforcement
positif. Adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah
tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman, persetujuan, pujian,
bintang emas, medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian reinforcement positif
dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah
terbentuk.
2. Modelling.
Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk
berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam
hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
3. Token Economy.
Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan penguatan lainnya tidak
memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan
yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat
ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya. Token
economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu. Misalnya,
pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu rumahnya, ia akan diberi satu
logam. Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak tersebut akan dibelikan
sepeda.
Lubis, Lumongga Namora.
(2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori
dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group